PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN DALAM PERKARA PIDANA

Home » PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN DALAM PERKARA PIDANA

Detention is a limitation on the freedom of movement of a suspect or defendant. Therefore, detention should only be done if it is really necessary for law enforcement. All acts of detention carried out by authorized officials must be in accordance with the Criminal Procedure Code. This is to avoid fatal mistakes that can make it difficult for officials authorized to detain. In order not to harm the rights of suspects or defendants, the Criminal Procedure Code regulates the suspension of detention with guarantees of people or money.

Keywords: detention, suspension, guarantee.

A. PENDAHULUAN

Pasal 1 angka 21 KUHAP menentukan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penahanan merupakan pembatasan kebebasan bergerak seseorang tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, penahanan hendaknya dilakukan bilamana memang sangat diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum. Dalam penahanan menimbulkan dua pertentangan azas yaitu:

  1. Penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang.
  2. Penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa.

Agar penahanan tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa yang disebabkan penahanan yang kemungkinannya dapat berlangsung lama, maka KUHAP juga mengatur suatu ketentuan bahwa tersangka atau terdakwa dapat mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Mengenai penangguhan penahanan diatur dalam pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan penahanan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang dengan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Apabila syarat-syarat tersebut dilanggar maka penangguhan penahanan dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa ditahan kembali.

Ada 2 syarat penahanan, yakni syarat obyektif dan syarat subyektif, sebagai berikut:

Syarat obyektif :

  1. Terhadap tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
  2. Tindak pidana tertentu seperti tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf (b) KUHAP meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.

Syarat subyektif :

  1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan.
  2. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri.
  3. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti.
  4. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana.

Oleh karena pada dasarnya bahwa penahanan tersebut adalah perampasan terhadap hak kebebasan bergerak seseorang, maka harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan sesuai dengan ketentuan yang ada.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam makalah ini adalah bagaimana konsekuensinya jika tersangka atau terdakwa melarikan diri setelah mendapat penangguhan penahanan dengan jaminan?

C. PEMBAHASAN

  1. Pengertian penahanan

Menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP, bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini. Penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang, maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukanbagi kepentingan penegakan hukum. Disinilah letak keistimewaannya hukum acara pidana, yang mempunyai ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan azas-azas yang diakui secara universal yaitu hak azasi manusia khususnya hak kebebasan orang seorang. Ketentuan demikian terutama mengenai penahanan disamping yang lain seperti pembatasan hak milik karena penyitaan, pembukaan rahasia surat (terutama dalam delik korupsi dan subversi) dan lain-lain.[1]

Disamping itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, di pihak lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahanan yang nantinya dapat menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi pejabat yang melakukan penahanan yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman pidana bagi pejabat yang melakukan penahanan.

Ketentuan tentang sahnya penahanan disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP:

Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

  1. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
  2. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).

Ketentuan tentang perlunya penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1), bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

  1. Kewenangan dan lamanya melakukan penahanan

Kewenangan melakukan penahanan ada pada penyidik, penuntut umum dan hakim dengan penetapannya menurut hal dan acara yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan tingkat pemeriksaannya, dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung.

Pada setiap tingkat pemeriksaan, penahanan dimaksud dapat dilakukan perpanjangan. Perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 KUHAP berlaku paling lama 20 hari. Penahanan yang dilakukan oleh penyidik tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 hari (Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP). Dalam Pasal 24 ayat (4) KUHAP ditentukan bahwa setelah waktu 60 hari, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Dengan demikian, penuntut umum tidak dapat mengeluarkan surat perintah penahanan sesuai dengan Pasal 25 KUHAP yang berlaku 20 hari sebelum perkara dilimpahkan kepadanya.[2]

Pasal 25 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum dapat mengeluarkan perintah penahanan yang berlaku paling lama 20 hari. Penahanan oleh penuntut umum ini dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan yang berwenang paling lama 30 hari, yang menurut ayat (2) pasal tersebut dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai”. Menurut Andi Hamzah[3], redaksi alasan tersebut kurang tepat, karena penuntut umum tidak melakukan pemeriksaan, jadi semestinya berbunyi “apabila persiapan penuntutan belum selesai”.

Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, berwenang mengeluarkan perintah penahanan untuk paling lama 30 hari, dengan alasan “guna kepentingan pemeriksaan” (Pasal 26 ayat (1) KUHAP). Penahanan oleh hakim ini dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 60 hari, dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai” (Pasal 26 ayat (2) KUHAP). Artinya, penahanan yang dilakukan oleh hakim pada pemeriksaan tingkat pertama lamanya 90 hari. Pasal 26 ayat (4) KUHAP ditentukan bahwa apabila lewat 90 hari, walaupun perkara tersebut belum putus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Hal ini juga berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding, dimana hakim dapat memerintahkan penahanan untuk paling lama 30 hari, dengan alasan “guna kepentingan pemeriksaan banding” (Pasal 27 ayat (1) KUHAP). Penahanan oleh hakim pengadilan tinggi juga dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama 60 hari dengan alasan yang sama, yaitu “guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai” (Pasal 27 ayat (2) KUHAP). Sedangkan pada tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung berwenang melakukan penahanan untuk paling lama 50 hari, dan apabila pemeriksaan belum selesai maka dapat diperpanjang paling lama 60 hari.

  1. Unsur-unsur dilakukan penahanan

Penyidik yang menangani perkara di tingkat kepolisian berwenang melakukan penahanan terhadap seorang tersangka. Dalam melakukan penahanan penyidik harus mengacu kepada mekanisme penahanan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk dilakukan penahanan, selain berdasarkan hasil penyidikan adalah: tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri; tersangka dikhawatirkan akan merusak barang bukti; tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya.

  1. Pengertian Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan adalah sebuah upaya mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Penjelasan Pasal 31 KUHAP  menjelaskan faktor yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 mengatur mengenai jaminan berupa uang maupun berupa orang. Jelas bahwa penangguhan penahanan diterima ataupun ditolak dengan dasar penyidik merasa yakin atau tidaknya bahwa tersangka dapat menyanggupi persyaratan yang telah disepakati oleh penyidik dan pemohon. Ditolaknya penangguhan penahanan tersebut dikarenakan penyidik khawatir tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan meyulitkan penyidik dalam proses penyidikan yang sedang berlangsung.

  1. Syarat-syarat penangguhan penahanan

Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama maka dalam KUHAP diatur ketentuan mengenai tersangka atau terdakwa dapat memohon penahanannya untuk ditangguhkan. Mengenai penangguhan penahanan tersebut diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada/tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu.

Adapun bunyi pasal 31 KUHAP sebagai berikut:

  • Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
  • Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dengan adanya pengaturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan terhadap suatu penahanan memberikan sedikit angin segar kepada tersangka atau terdakwa. Akan tetapi, mengenai penangguhan penahanan ini juga tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum.

Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa tersebut dapat kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek beracara pidana.

Penangguhan penahanan harus diajukan oleh tersangka atau terdakwa, keluarganya, atau dapat juga diajukan oleh penasihat hukum tersangka atau terdakwa dengan suatu jaminan uang dan jaminan orang berdasarkan syarat yang telah ditentukan. Penetapan syarat-syarat penangguhan penahanan oleh pejabat yang akan memberikan penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar pemberian penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat-syarat yang ditetapkan terlebih dahulu, penangguhan penahanan tidak dapat diberikan. Tahanan harus menyatakan bersedia untuk menanti syarat-syarat yang ditetapkan. Atas kesediaan untuk mentaati barulah pejabat yang berwenang memberikan penangguhan penahanan. Dengan demikian penetapan syarat dalam penangguhan penahanan merupakan conditio sinequanon dalam pemberian penangguhan penahanan. Tanpa penetapan persyaratan, penangguhan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) KUHAP.

  1. Pengertian jaminan dalam perkara pidana

Dalam perkara pidana pengertian jaminan adalah untuk memberikan keyakinan sebuah penangguhan penahanan itu bisa di kabulkan. Hal ini bisa di atur dalam sebuah perjanjian tertulis di atas meterai tempel yang dilakukan oleh penjamin dengan menjamin tersangka tidak akan melarikan diri selama perkaranya masih dalam proses penyidikan, memberikan kesediaan membayar berupa uang dengan sejumlah uang yang cukup besar kepada Negara apabila tersangka melarikan diri yang uangnya akan disetorkan melalui Panitera Pengadilan, dan wajib lapor selama 3 bulan berturut-turut, serta menjamin bahwa tersangka atau terdakwa tidak akan melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar hukum.

  1. Macam-macam jaminan dalam perkara pidana

Jaminan berupa uang maupun orang diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 serta Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 angka 8 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 14-PW.07.03 Tahun 1983 dinyatakan bahwa dalam hal ada permintaan untuk menangguhkan penahanan yang dikabulkan, maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dengan tersangka atau penasihat hukumnya beserta syarat-syarat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penangguhan penahanan pada dasarnya dilaksanakan dengan sebuah perjanjian antara pejabat yang berwenang menahan dengan tersangka atau terdakwa atau penasihat hukumnya. Penetapan besarnya jaminan uang dalam pelaksanaan penangguhan penahanan ditetapkan berdasar kesepakatan antara aparat penegak hukum yang melakukan penahanan dengan tersangka atau terdakwa, keluarga tersangka atau terdakwa atau penasihat hukum tersangka atau terdakwa yang disesuaikan dengan kejahatan atau perbuatan yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa. Seorang penjamin yang menjamin tersangka atau terdakwa dalam penangguhan penahanan memiliki tanggung-jawab penuh atas keberadaan tersangka atau terdakwa tersebut.

Apabila tersangka atau terdakwa tersebut melarikan diri, maka penjamin harus bertanggung jawab menemukan terdakwa tersebut. Sebaliknya apabila perkara dilanjutkan proses hukumnya dan dinyatakan lengkap (P-21) untuk dilimpahkan ke Penuntut Umum, maka uang jaminan itu harus dikembalikan Penyidik kepada tersangka atau keluarga atau melalui penasehat hukumnya.

  1. Masa berlakunya jaminan dalam perkara pidana

Dari tahap-tahap yang dilalui oleh tersangka atau terdakwa agar dapat ditangguhkan penahanannya sebagaimana diuraikan diatas, yang menjadi soal dan perlu dijawab adalah bagaimanakah status uang jaminan (uang titipan) yang diberikan oleh keluarga tersangka atau penasehat hukumnya melalui penyidik. Untuk mencari jawaban yang benar, maka harus tetap berpedoman kepada aturan hukum yang ada yaitu BAB X Pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang peraturan pelaksanaan KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan dikepaniteraan pengadilan negeri.

(2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.

Pasal 36

(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

(2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.

(3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1) jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.

  1. Pertimbangan hukum pelaksanaan penangguhan penahanan

Dalam melaksanakan prosedur penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum yang merupakan dasar dalam melaksanakan tindakan hukum, yaitu:

  1. Pasal 31 ayat (1) KUHAP.
  2. Undang-Undang Negara Republuk Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  3. Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983.
  4. Laporan Kepolisian.
  5. Surat Perintah Penahanan.
  6. Surat Permohonan Penangguhan Penahanan Tersangka.

Dasar hukum di atas akan menguatkan suatu prosedur pelaksanaan penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana, sehingga dapat digunakan sebagai landasan jika terjadi gugatan praperadilan dari pihak tersangka baik melalui penasehat hukumnya maupun keluarganya.

  • Konsekuensi penangguhan penahanan jika pelaku melarikan diri

Setiap tindakan hukum yang dilakukan pasti akan membawa konsekuensi atas diri pelaku maupun atas nama suatu institusinya. Sehingga jika suatu tindakan yang diambil tidak menggunakan landasan hukum dan melalui prosedur yang standar atau yang sudah baku, maka akan berdampak pada proses hukum yang sedang berjalan. Dampak yang timbul akibat tersebut di atas biasanya adanya gugatan praperadilan yang dilakukan oleh tersangka baik melalui penasehat hukumnya maupun keluarganya, terhadap institusi yang sedang menangani proses hukumnya. Jika ini sampai terjadi maka akan menimbulkan proses hukum yang bisa berbalik menjadi merepotkan pihak pejabat yang memberikan penangguhan penahanan. Konsekuensi yang harus dilakukan oleh pihak pejabat yang memberikan penangguhan terhadap suatu penangguhan penahanan ketika tersangka melarikan diri, secara garis besar yaitu :

  1. Pejabat yang memberikan penangguhan penahanan harus mencari tersangka yang kabur tersebut dalam jangka waktu 3 bulan.
  2. Jika dalam jangka 3 bulan tersangka tidak dapat ditemukan untuk ditangkap lagi, maka uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut, juru sita akan melakukan penyitaan terhadap barang miliknya untuk dilelang dan hasilnya akan disetor ke kas negara. Apabila hasil lelang barang melebihi dari nilai uang jaminan maka sisa kelebihan akan dikembalikan kepada penjamin, tetapi apabila masih kurang maka penjamin harus menutup kekurangan nilai uang jaminan yang sudah ditentukan.

Pasal 31 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon suatu penangguhan. Akan tetapi penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan tingkat kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu. Apabila syarat-syarat tersebut dilanggar maka penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa tersebut dapat kembali ditahan. Menurut penegasan yang terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP, penangguhan penahanan terjadi:

  1. Karena permintaan tersangka atau terdakwa;
  2. Permintaan itu disetujui oleh instansi yang menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan.

KUHAP tidak menjelaskan mengenai besarnya jumlah uang jaminan tersebut apabila penangguhan tersebut dilaksanakan dengan adanya jaminan uang. Demikian halnya apabila penangguhan dilaksanakan dengan jaminan orang, KUHAP tidak memberikan penjelasan. Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat hukum dari si penjamin apabila tersangka atau terdakwa yang dijamin melarikan diri.

Oleh karena itu dalam hal penangguhan penahanan ini pejabat yang berwenang menahan tersangka atau terdakwa tidak diwajibkan untuk mengabulkan setiap adanya permohonan penangguhan penahanan serta dapat menolak permohonan penangguhan penahanan tersebut dengan suatu alasan tertentu dan tetap menempatkan tersangka atau terdakwa dalam tahanan. Apabila penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh pejabat yang melakukan penahanan, maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, pejabat tersebut dapat menetapkan suatu jaminan baik berupa jaminan uang atau pun jaminan orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP bersifat fakultatif. Penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan tidak mutlak. Tanpa jaminan tindakan pemberian penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Hanya saja, agar syarat penangguhan penahanan benar-benar ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi dengan penetapan jaminan. Cara yang demikianlah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan demi upaya memperkecil tahanan melarikan diri.

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penangguhan penahanan seolah-olah didasarkan pada bentuk kontrak atau perjanjian dalam hubungan perdata. Hal tersebut cenderung untuk mengatakan terjadinya penangguhan penahanan berdasarkan perjanjian antara seorang tahanan atau orang yang menjamin dengan pihak pejabat yang berwenang. Seorang tahanan berjanji akan melaksanakan dan memenuhi syarat serta jaminan yang ditetapkan pejabat yang berwenang sebagai imbalan pejabat yang berwenang menahan mengeluarkan dari tahanan dengan menangguhkan penahanannya.

Dari proses terjadinya penangguhan penahanan, masing-masing pihak melakukan prestasi dan tegen prestasi. Prestasi yang dilakukan seorang tahanan atau orang yang menjamin mematuhi syarat yang ditetapkan, pihak yang menahan memberi imbalan sebagai tegen prestasi berupa penangguhan penahanan. Lembaga penangguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang seperti yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP merupakan suatu lembaga baru dalam hukum acara pidana di Indonesia yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata-cara pelaksanaannya serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin.

Demikian pula tentang alasan penangguhan penahanan tidak disinggung dalam Pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan pasal tersebut. Jika ditinjau dalam segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan. Akan tetapi, sekalipun undang-undang tidak menentukan alas an penangguhan dan memberi kebebasan serta kewenangan penuh kepada pejabat yang berwenang menahan untuk menyetujui atau tidak menyetujui penangguhan, sepatutnya instansi yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, maupun preventif.

Dalam KUHAP maupun dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak ditetapkan tentang penangguhan penahanan. Pembentuk undang-undang menyerahkan hal itu kepada penegak hukum untuk menetapkannya. Hal tersebut tercakup dalam makna yang dapat ditarik dari kalimat terakhir Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang menyatakan “Berdasarkan syarat yang ditentukan”. Penjelasan ayat 31 KUHAP dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan syarat yang ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Dengan demikian penangguhan penahanan harus diajukan oleh tersangka atau terdakwa atau keluarganya ataupun dapat juga diajukan oleh penasihat hukum tersangka atau terdakwa dengan suatu jaminan uang dan jaminan orang berdasarkan syarat yang telah ditentukan.

Penetapan syarat-syarat penangguhan penahanan oleh pejabat yang berwenang merupakan faktor yang menjadi dasar pemberian penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat-syarat yang ditetapkan terlebih dahulu, penangguhan penahanan tidak dapat diberikan. Penetapan syarat penangguhan penahanan merupakan conditio sinequanon dalam pemberian penangguhan penahanan. Tanpa penetapan persyaratan, penangguhan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Syarat-syarat dalam penetapan jaminan dalam bentuk uang sebagai berikut:

  1. Uang jaminan di simpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
    Instansi manapun yang memberi penangguhan penahanan, uang jaminan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Panitera yang berwenang menyimpan uang jaminan sekalipun yang memberipenangguhan penahanan instansi penyidik, penuntut umum, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
  2. Penyetoran uang jaminan dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasehat hukumnya atau keluarganya. Berdasarkan penetapan besarnya jaminan yang dicantumkan secara dalam surat perjanjian, uang tersebut disetor kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri oleh Pemohon atau penasehat hukumnya atau keluarganya. Penyetoran dilakukan berdasar formulir penyetoran yang dikeluarkan instansi yang bersangkutan. Jika penyidik yang memberikan formulir penyetoran uang jaminan, untuk selanjutnya dibawa pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri.
  3. Bukti setoran dibuat dalam rangkap tiga. Hal ini ditentukan dalam angka 8 huruf f Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983.

Bukti penyetoran dibuat dalam rangkap tiga dengan perincian :

  1. Sehelai sebagai arsip panitera Pengadilan Negeri.
    1. Sehelai diberikan kepada yang menyetor untuk digunakan bukti kepada instansi yang menahan bahwa dia telah melaksanakan isi perjanjian yang berhubungan dengan pembayaran uang jaminan.
    2. Sehelai lagi dikirim panitera kepada pejabat atau instansi yang menahan melalui kurir untuk digunakan sebagai alat kontrol.
    3. Berdasarkan tanda bukti penyetoran, pejabat yang menahan mengeluarkan surat penetapan penangguhan penahanan. Selama tanda bukti penyetoran uang jaminan belum diperlihatkan pemohon atau penasehat hukum maupun oleh keluarganya, atau instansi yang menahan belum menerima pengiriman tanda bukti penyetoran dari panitera, belum dapat mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan.

Jadi ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kebenaran penyetoran yaitu:

  1. Dengan jalan diperlihatkan pemohon atau penasehat hukum atau keluarganya.
  2. Berdasar penerimaan tanda bukti penyetoran yang dikirim panitera kepada instansi yang menahan.
    1. Jatuhnya uang jaminan menjadi milik negara. Selama syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian penangguhan penahanan tidak dilanggar oleh pemohon, uang jaminan secara material dan yuridis masih tetap merupakan hak milik pemohon. Artinya ditinjau dari segi hukum perdata, pemohon masih tetap sebagai legal owner.

Hanya saja uang jaminan itu untuk sementara diasingkan atau dipisahkan dari penguasaan pemohon dengan jalan menyetor dan menitipkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri sehingga secara faktual dan riil, yang jaminan itu tidak dapat dikuasai dan dipergunakan selama perjanjian penangguhan penahanan masih berlangsung.

Uang jaminan baru kembali secara riil kepada kekuasaan pemohon setelah perjanjian penangguhan penahanan berakhir. Akan tetapi jika pemohon melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian berupatindakan “melarikan diri”, uang jaminan yang dititipkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan sendirinya berubah menjadi milik Negara. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 angka 8 huruf i Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Nomor.M.14 PW.07.03/1983.

Dalam ketentuan-ketentuan ini diatur landasan dan tata cara peralihan uang jaminan menjadi milik negara yaitu:

  1. Landasan pemilikan, tersangka atau terdakwa melarikan diri setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan. Dasar peralihan uang jaminan milik negara, apabila yang bersangkutan melarikan diri dan selama 3 bulan dari tanggal melarikan diri tidak diketemukan maka sejak tanggal dilewatinya masa tiga bulan, uang jaminan beralih menjadi milik negara.
  2. Tata cara peralihan dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri. Tata cara peralihan diatur dalam angka 8 huruf i Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman dimaksud. Berdasarkan petunjuk yang ditentukan di dalamnya, tata cara peralihan uang jaminan menjadi milik negara diperlukan penetapan Pengadilan Negeri.

Jadi apabila tersangka atau terdakwa yang sidang ditangguhkan penahanannya melarikan diri dan dalam tempo tiga bulan tidak ditemukan, Pengadilan Negeri mengeluarkan atau menerbitkan penetapan yang berisi:

  1. Pengambilalihan uang jaminan milik negara;
  2. Serta sekaligus memerintahkan panitera untuk menyetorkan uang tersebut ke Kas Negara
  3. PENUTUP
  4. Kesimpulan

Penulis dapat menyimpulkan bahwa pelaksanaan penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana harus dengan pertimbangan hukum. Sehingga kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari akibat kesalahan prosedur dapat dihindari. Pertimbangan hukum atau landasan hukum yang menjadi dasar dalam suatu proses dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana, yaitu:

  1. Mengacu pada Pasal 31 ayat (1) KUHAP.
  2. Mengacu pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  3. Mengacu pada Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983.
  4. Berdasarkan pada Laporan Kepolisian.
  5. Berdasarkan pada Surat Perintah Penahanan.
  6. Berdasarkan Surat Permohonan Penangguhan Penahanan.

Dengan menggunakan landasan hukum tersebut, maka prosedur dan proses penanganan kasus hukum akan lebih optimal dan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dapat diantisipasi. Pada proses penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana, jika tersangka melarikan diri, maka:

  1. Pejabat yang memberikan penangguhan penahanan harus mencari tersangka atau terdakwa yang kabur tersebut dalam jangka waktu 3 bulan.
  2. Jika dalam jangka 3 bulan tersangka atau terdakwa tidak dapat ditemukan untuk ditangkap lagi, maka uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut, juru sita akan melakukan penyitaan terhadap barang miliknya untuk dilelang dan hasilnya akan disetor ke kas negara. Apabila hasil lelang barang melebihi dari nilai uang jaminan, maka sisa kelebihan akan dikembalikan kepada penjamin. Tetapi apabila masih kurang maka penjamin harus menutup kekurangan nilai uang jaminan yang sudah ditentukan
  3. Saran

Pejabat yang berwenang memberikan penangguhan penahanan dalam mengabulkan suatu permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana, selain dengan pertimbangan hukum yang ada, juga harus mengedepankan dengan analisa kasus yang cermat. Sehingga dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan dalam perkara pidana, benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum maupun secara sosial. Jangan sampai penangguhan penahanan ini menjadi peluang bagi tersangka atau terdakwa untuk melarikan diri.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit  CV Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1996.

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika: Jakarta, 2004.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta: Jakarta, 2010.

Kansil, CST, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2007.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara: Jakarta, 2006.

Muhammad Khambali, Hukum Perkawinan, Kajian Perceraian dengan Alasan KDRT, Deepublish: Yogyakarta, 2017.

Sigit Susena, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Rosda: Jakarta, 2013.

Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2011.

Soeryono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta, 2008.

Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2008.

http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/the2ndproceeding/article/view/1120, Muhammad Khambali, Teguh Prasetyo, Sri Endah Wahyuningsih, “Reconstruction of Criminal Procedural Law (KUHAP) about the Detention Based on Justice”

https://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/1_m._hambali_filsafat_hukum_dalam_pembentukan_hukum-.pdf, Muhammad Khambali, “Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia”

https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/1157, Muhammad Khambali, Yasmirah Mandasari Saragih, “Perlindungan Hak Janda Pegawai Negeri Sipil Atas Gaji Bekas Suaminya”

[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit  CV. Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1996, hlm 132.

[2] Ibid, hlm 136.

[3] Ibid.

Penulis: Muhammad Khambali, Dosen Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Leave a Reply